12 Desember, 2011

Penantianku

Mentari hampir pergi, tenggelam tertutup awan. Meski begitu, aku tahu bumi tetap berputar, karena ia tak mungkin berdiam. Tak mungkin tertahan dan berhenti hanya untuk menunggu mentari kembali datang.
Malam itu, aku merindukannya lagi. Untuk kesekian kali, aku lebih suka menyebut kerinduanku dengan kebodohan. Kebodohan yang telah mati-matian dia tentang. Tapi aku tak juga menyerah untuk kerinduanku. Berpuluh-puluh kali aku mencoba menghubunginya, dalam pekat rembulan yang tak malu-malu menampakkan diri. Namun hingga rembulan berteduh dari hujan, dia tak juga memberi kabar. Aku masih menunggu. Dalam derai hujan yang mendesis pilu. Tetapi dia membiarkan aku terjaga untuk menunggunya.
Aku tahu, kita bersekat. Dan entah dengan cara apa aku bisa menghilangkan sekat itu. Aku tak pernah bisa menarikmu kembali, menyeberangi lautan yang berbenturan dengan jurang. Tapi senyum tipismu itu menyakinkanku untuk tetap bertahan. Untuk tetap menunggu hingga kau kembali datang.
Tapi semua terlihat berat, karena satu-satunya jiwa yang menunggu adalah jiwaku. Dan jiwamu serta merta tak pernah menunggu jiwaku. Aku letih. Tapi kembali kau yakinkan aku dengan jawaban biasmu. Entahlah, aku hanya sedang menunggu hujan berhenti di malam itu. Hujan yang turun melalui celah-celah mataku. Hujan yang membasahi bola mataku dan mengalir lembut melewati pipi. Aku bisa merasakan lelerannya. Perlahan turun mendekat dagu. Dan aku membiarkan air itu menetes cepat ke tanah.
Itu adalah bentuk kerinduanku padamu. Hanya setetes, yang tiada arti buatmu. Ya, hanya itu yang bisa ku lakukan ketika aku merindukanmu di malam itu.
Sudah beratus-ratus kali kau menolakku, membiarkan aku teriris dalam sepi. Membiarkan aku terisak dalam rindu. Dan hanya sekali kau membuatku bertahan. Hanya sekali kau memintaku untuk tetap tinggal, dan sisanya kau tetap acuh menjauh.
“Aku merindukannya lagi” Kataku dalam kegetiran.
“Jangan, jangan pernah dekati dia. Dia punya kehidupan sendiri. Dan kamu? Kamu pun punya kehidupan sendiri” Kata sahabatku dari seberang.
“Aku tahu, karena dia tak mungkin membalas semua yang ada padaku. Tentang rinduku, tentang asaku, tentang rasaku, dan tentang semua yang aku beri untuk dia”
“Jangan pernah mendekat lagi. Biarkan dia tinggal dengan dunianya, dan kamu dengan duniamu. Mungkin saja bahagia kalian memang berbeda. Bahagiamu bukan bahagianya, dan bahagianya bukan bahagiamu”
Jangan pernah mendekat lagi. Ya, mungkin saja aku harus bisa membentengi rasa. Menahan setiap kerinduan yang tak kan pernah lagi terungkap dan terucap.
Meski aku terus menunggunya seperti menunggu mentari terbit, aku harus tetap menjadi bumi yang terus berputar untuk kehidupan. Aku tak boleh terhenti karena menunggu. Tak boleh terhenti karena berputus asa, dan tak boleh berhenti karena aku punya kehidupan. Bukankah begitu?

Tidak ada komentar: